Sebuah sore mendung itu hanya kami habiskan dengan meneguk segelas cappuchinno yang mulai kehilangan panasnya.
Mungkin kami terbawa suasana, atau memang hanya ingin berbincang karena lama tidak bersua. Deli mulai menyulut rokok kedua, sementara temannya mulai membuka dialog lain “Kenapa dipanggil chef deh, chef ?”
Aku melirik deli yang sekarang menunjukan lesung pipinya, tersenyum simpul.
Mungkin ini juga pertanyaan para rekan kerja ku, penasaran lebih tepatnya, tentang asal nama chef rimba di setiap akun sosial media.
Aku memundurkan kursi agar cerita ini tersampaikan dengan santai, tanpa ada beban. Karena semua ini dimulai jauh, menjelang tahun baru 2013.
Aku masih ingat betul, pukul empat sore, sebuah motor supra berwarna biru toska dengan stiker nyamuk terparkir di kontrakan ku di Jogjakarta. Itu motor Eka yang ku kenali sejak awal pertemuan kami saat Taaruf Fakultas (Ospek.red).
Dan dia didalam saat ini, terlihat berbincang dengan Teguh dan merencanakan sesuatu soal Pendakian ke Merapi akhir tahun ini. Perbincangan tersebut kurang lebih menyiratkan bahwa dua minggu lagi mereka berencana naik ke puncak, sekedar menikmati Tahun Baru di sana.
Aku yang sedang bosan dengan pekerjaan paruh waktu di Toko Komputer, akhirnya mencoba mendengarkan rencana mereka berdua, sampai akhirnya memutuskan untuk ikut merayakan pergantian tahun bersama.
Persiapan pun tertata, aku mengumpulkan semua barang-barang sisa pendakian terakhirku di Gunung Lawu, seperti sepatu, carrier, hingga sleeping bag, berharap masih ada yang bisa ku gunakan karena sudah lama tersimpan dalam dus barang-barang lama.

Setelah tiga hari mencari pelengkap barang yang sudah usang atau tidak bisa digunakan, Teguh, Eka dan Aku mulai mengatur perbekalan hingga mekanisme pemberangkatan pendakian ke Merapi akhir tahun nanti. Teguh akan menjadi penunjuk jalan, Eka membawa perbekalan tenda, sedangkan aku yang akan mengurus perbekalan makanan.
Dari sini tentu kalian sudah mengira, artinya aku yang bertugas untuk memasak selama pendakian.
Namun nama chef rimba belum ada hingga titik cerita ini. Karena Eka dan Teguh masih memanggilku dengan nama Radius.
Hari pendakian itupun tiba, Kami bertiga sudah siap dengan segala perlengkapan dan logistik. Waktu menunjukan pukul 7 malam, kami berangkat menempuh Jogja – Muntilan – Selo menggunakan motor, sampai akhirnya dua jam kemudian tiba di basecamp Mara Beru, sebuah posko pendakian Merapi dari pintu New Selo, Boyolali.

Karena sudah malam, kami memutuskan untuk mengistirahatkan diri di basecamp, bersama para pendaki yang baru tiba atau sekedar merebahkan diri menunggu pagi. Bersama, kami akan melakukan pendakian pagi, dengan menempuh sisi timur Gunung Merapi.
Setidaknya butuh 3 jam perjalanan menelusuri jalur bertanah gembur, hingga akhirnya kami sampai di post camp yang letaknya 2 KM dari pasar bubrah. Eka mulai memasang tenda, tampak dikejauhan awan hujan berarak naik ke perbukitan dan kami tidak mau kebasahan tanpa tahu harus dimana menancapkan tenda melihat pasar bubrah yang mulai penuh dari kejauhan dengan warna-warni tenda.

Kami mulai meletakan semua perlengkapan, berjaga jika hujan benar-benar tiba. Eka dan Teguh mengemas beberapa perlengkapan dalam tas daypack, berencana melakukan summit ke puncak, sementara aku membuka perbekalan, menata menu dan memasak, sembari menunggu mereka kembali ke tenda.
Satu jam setelah mereka pergi untuk ke puncak Merapi, hujan turun deras, aku yang berada di tenda mulai cemas. Tidak lama berselang, ku lihat Eka, Teguh, dan beberapa orang berjalan beriringan dengan rain coat menuju tenda kami.
Aku yang melihat mereka di kejauhan mulai mempersiapkan air hangat dan memanaskan makanan. Ternyata mereka bersama teman-teman Traveller Kaskus Regional Jogja, ada Deli, Ajo, dan Suci yang sudah saling kenal sebelumnya.

Basah dan Kedingan membuat mereka lahap menghabiskan makanan yang kubuat, walau itu hanya menu Nasi Magelangan (Nasi dan Mie Goreng di campur) dengan tempe serta sambal sederhana. Menurut mereka, itu adalah makanan terenak selama mendaki bersama.
Dan dari sinilah nama Chef melekat, hingga akhirnya kami terus berteman dan merencanakan pendakian-pendakian bersama selanjutnya. Dengan aku sebagai koki dalam setiap petualangan kami.